tetangga

ad19e56eaa4c6844f5397e9e9c5ee810
sumber gambar

Bismillaah..

Dalam kehidupan bermasyarakat sebagai makhluk sosial, biasanya ada beberapa dari tetangga kita yang paling kita ingat dan kenali dibandingkan dengan tetangga-tetangga yang lainnya. Mereka lebih kita kenali karena ada sesuatu khusus yang melekat pada diri mereka yang tidak dimiliki oleh tetangga-tetangga kita yang lainnya, atau dimiliki oleh tetangga kita yang lainnya tapi yang kita kenal ini memiliki yang “paling” di antara tetangga lainnya. Entah karena perawakannya, nama anaknya, status sosial (pekerjaan, kekayaan atau gelar akademiknya), kebiasaan/hobby nya, hewan peliharaannya, letak rumahnya, bentuk rumahnya, peliharaannya dan yang lainnya.

Dalam lingkungan rumah saya misalnya, dari segi panggilan ada yang dipanggil “Bu Kembar” karena memiliki dua anak perempuan kembar, “Budhe Ndut” karena tubuh tambunnya, “Mama Arab” karena wajahnya yang ke-Timur-an xP. Ada juga Pakdhe “N” yang terkenal sebagai orang paling kaya se-RT, kontrakannya ada banyak pintu, rumahnya pun paling “wah” dibandingkan dengan rumah-rumah lain di RT kami, sebab ini pula Pakhe “N” tidak pernah luput dari setiap pemberitahuan sumbangan Masjid ataupun iuran RT xD. Ada juga Pak Ustadz “K” karena gelar pendidikannya yang SHI, MA. Selain itu beliau juga adalah salah satu pengurus Masjid Agung At Tin, TMII dan juga pengisi kajian bapak-bapak di Masjid, dan lain sebagainya :”).

Ada yang dikenal karena sebab-sebab fisik seperti yang disebutkan diatas, ada juga yang dikenal karena keberadaannya dirasakan betul manfaatnya bagi warga sekitar :”). Pak RT saya dulu pernah bela-belain mengumpulkan uang untuk beli mobil. Setelah mobil terbeli alhamdulillaah, beliau sampaikan tujuan awal beliau memiliki sebuah mobil adalah agar bisa mengantarkan jika ada warganya yang sakit dan butuh ke RS :”).

Ada juga salah satu tetangga kami yang memiliki usaha ternak kambing dan sapi, setiap menjelang idul adha, pengurus Masjid di lingkungan rumah kami tidak perlu jauh-jauh membeli hewan qurban, harganya pun khusus untuk Masjid sendiri. Masjid kami biasanya ada patungan sapi setiap Hari Raya Qurban. Satu ekor sapi untuk 7 orang. Pernah beberapa tahun yang lalu, untuk patungan sapi yang terakhir baru terkumpul 2 orang yang mendaftar. Pengurus Masjid memutuskan untuk menunggu sampai selesai shalat Id jika ada yang ingin ikut berqurban sapi, jika tidak ada dana yang sudah terkumpul dari 2 orang ini akan dibelikan dua ekor kambing. Qadarullaah sampai akhir shalat tidak ada yang mendaftar. Maksud hati ingin membatalkan pesanan 1 ekor sapi untuk diganti dua ekor kambing, karena kami membelinya di tetangga, beliau tetap memberikan satu ekor sapi dengan harga patungan 2 orang, sisanya yang 5 orang diatas namakan keluarganya. Maa syaa Allaah :”).

Suatu hari di jaman Tabi’ut Tabiin, ada seorang Yahudi yang ingin menjual rumahnya dengan harga yang sangat tinggi. Pasaran harga rumah saat itu dan di daerah itu saat itu adalah sekitar 1.000 Dirham. Tapi si Yahudi ini keukeuh mau menjual rumahnya dengan harga 2.000 Dirham. Orang-orang pada kebingungan dan keheranan, akhirnya ada seorang calon pembeli yang bertanya kenapa harganya mahal sekali, padahal rumahnya biasa saja?

Dengan tenang si Yahudi ini menjawab. “1.000 Dirham untuk harga rumahku dan 1.000 Dirham lagi untuk harga tetanggaku yang shalih”.

Dalam Al Makarim wa Al Mafakhir, halaman 23, dituliskan bahwa Si Yahudi menjamin hidup berdampingan dengan tetangga yang shaleh dan penuh kebaikan itu mahal harganya, karena akan mendapatkan ketenangan dan kebaikan dalam hari-harinya. Terlebih tetangga shaleh yang si Yahudi maksud adalah Ibnul Mubarak. Seorang ulama besar, Ahli Fiqih pada zamannya yang akhlaknya tentulah memukau.

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jibril terus menerus berwasiat kepadaku untuk berbuat baik terhadap tetangga, sampai-sampai aku mengira dia akan menjadikannya sebagai ahli waris”. [HR. Bukhori dan Muslim].

Tidak heran jika menjaga hubungan baik dengan tetangga menjadi salah satu perhatian Rasulullaah Shallaahu ‘alaihi wassalam, karena dalam realitanya berbuat baik kepada tetangga tidak lagi menjadi sebuah tuntutan kewajiban sosial melainkan sebuah kebutuhan. Seperti yang sering disebutkan bahwa tetangga adalah keluarga terdekat. Tanpa perlu diberi contoh, saya kira sudah banyak sekali bukti pengenjawatahan dari kalimat “tetangga adalah keluarga terdekat”.

Semakin kesini saya bahkan semakin mempercayai, bahwa berbuat baik secara personal kepada tetangga-tetangga yang tinggal di lingkungan rumah kita dapat membawa kebaikan pula bagi keluarga kita. Adik-adik ibu saya selalu mendapat sambutan hangat saat sedang berkunjung ke rumah, beberapa tetangga dekat bahkan mengenali nama om dan tante saya, padahal mereka tinggal di Jawa. Atau ketika saya dan keluarga sedang mudik ke Jawa, pergi ke pasar atau membeli sesuatu, dengan mengetahui bahwa saya adalah anak dari ibu, dan cucu dari mbah saya kemudian diajak ngobrol, di senyumin dan diperlakukan dengan sangat baik seperti keluarga dekat, meskipun baru pertama kali bertemu xP. Huwaaa kebaikan itu seperti virus, bisa menular xP.

Jadi jadi jadi,
kita mau berupaya menjadi tetangga yang seperti apa bagi tetangga kita?

Tetangga yang hanya kelihatan namanya doang di list sumbangan masjid dan iuran RT atau tetangga yang selalu nampak di acara-acara bersama warga setempat, entahlah arisan RT, menjenguk warga yang sakit atau pengajian RT?

Tetangga yang pintu rumahnya selalu tertutup rapat seharian, walaupun ada penghuninya di rumah atau tetangga yang pagi-pagi buta didatangi budhe sebelah rumah buat minta garam karena udah keburu masak buat bekel yang mau berangkat pagi tapi kehabisan garam dan warung terdekat belum buka? xP.

Leave a comment

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑